Oleh: M. Eri Irawan
Bagaimana sebuah kota berkeadilan untuk semua dapat diwujudkan? Filsuf Yunani Plato meyakini bahwa keadilan merupakan bagian dari kebajikan manusia dan ikatan yang menyatukan manusia dalam masyarakat. Keadilan laksana hal yang harus ada dalam setiap jiwa, sebagaimana kesehatan yang teramat penting bagi tubuh.
Pesan Plato ini menegaskan bahwa keadilan adalah urusan kolektif dan menjadi faktor kohesi dalam sebuah masyarakat yang rentan tersegregasi karena banyak soal. Keadilan memunculkan ‘trust’ terhadap pemerintah dalam sebuah masyarakat yang tak mudah percaya atau, bahkan, cenderung sinis.
Maka saat mendengar Rumah Sakit Surabaya Timur siap beroperasi melayani warga, kita meyakini bahwa pesan Plato ribuan tahun silam tengah mewujud di kota ini.
Rumah Sakit Surabaya Timur melengkapi fasilitas kesehatan milik Pemkot Surabaya, setelah RSUD dr. Soewandhi dan RS Bhakti Dharma Husada—dua rumah sakit yang setiap hari dikunjungi ribuan warga kota untuk berobat.
Setelah RS Surabaya Timur, Pemkot Surabaya menyiapkan pembangunan RS Surabaya Selatan dan RS Surabaya Utara. Lengkap sudah persebaran RSUD milik Pemkot Surabaya: pusat (RS Soewandhie, dimulai 1964), barat (RS BDH, diresmikan 2010), timur (2024), dan ke depan di wilayah selatan serta utara.
Kehadiran RS Surabaya Timur (dan RS Surabaya Selatan serta RS Surabaya Utara ke depan) akan semakin menyempurnakan tafsir keadilan di kota ini, karena memeratakan akses kesehatan bagi warga, mendekatkan pelayanan ke warga, berarti memberikan peluang bagi warga Surabaya untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
RS Surabaya Timur, dan ke depan RS utara dan RS selatan, bukan sekadar bangunan. Bukan sekadar komitmen pelayanan kesehatan. Tapi ini adalah ikhtiar mewujudkan keadilan ruang, sebuah konsep yang akan memastikan distribusi akses dan kualitas semua sektor layanan dapat berkeadilan, merata ke semua segmen: bukan hanya demografis yang sudah tecermin dalam berbagai ikhtiar kebijakan pro-rakyat, tapi juga geografis.
Tata ruang bisa dibilang sebagai hulu dari hampir semua masalah kota: layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, geliat ekonomi lokal, penanganan banjir, dan sebagainya. Salah satu gol terpenting penataan ruang yang baik adalah kota bisa terhindar dari pengembangan ke semua arah secara tak terkendali, urban sprawl.
Maka langkah Pemkot Surabaya mendekatkan fasilitas umum, sehingga bisa lebih cepat diakses publik, perlu diapresiasi. Termasuk kehadiran RS Surabaya Timur, dan RS selatan serta RS utara ke depan.
Pelayanan publik berbasis digital, atau melalui Balai RW. Lalu ada Sentra Pelayanan Publik di berbagai lokasi. Pogram satu tenaga kesehatan satu RW. Fasilitas Puskesmas kian lengkap. Peningkatan kualitas lembaga pendidikan negeri dan swasta secara merata. Program padat karya berbasis aset pemerintah di berbagai kelurahan. Dan semua fasilitas serta layanan publik secara bertahap diintegrasikan dengan transportasi publik.
Itu semua, yang kerap disebut sebagai implementasi “compact city”, adalah ikhtiar untuk mewujudkan keadilan ruang, yang berimbas pada banyak hal: mengurangi kemacetan, meningkatkan konektivitas, mempercepat mobilitas masyarakat, menggerakkan ekonomi, meningkatkan kualitas hidup publik.
Hal ini menegaskan pentingnya para pemangku kebijakan kota untuk memiliki paradigma “keadilan spasial sejak dalam pikiran” guna menuntaskan masalah ketimpangan pembangunan sekaligus memastikan penataan ruang berdampak pada peningkatan kehidupan sosial-ekonomi rakyat.
Kota ini tak boleh hanya menjadi etalase bangunan-bangunan megah yang beku dan dingin, mengabaikan warganya. “A home is not a building or a street or a city or something so artificial as bricks and mortar. A home is where one's family is,” kata John Boyne, dalam “The Boy in the Striped Pajamas”, novel yang kemudian difilmkan, sebuah drama tragedi yang layak jadi renungan tentang arti kemanusiaan.
Surabaya bukan sekadar kota. Ia adalah sebuah rumah bagi semua orang dengan pemerintah yang harus terus berikhtiar memperlakukan warganya bak keluarga. Lekat dan akrab.
Penyair Allan Wolf mengingatkan tanggung jawab pemerintah adalah melindungi kesehatan, keamanan, moral, kesejahteraan umum masyarakat. “The obligation of the government to protect the public health, safety, morals and general welfare.”
Dan karena itulah, kita perlu memberikan applause terhadap semua ikhtiar yang ingin menjadikan Surabaya sebuah rumah bagi semua. Nalar birokrasi tentu ingin melihat hasil dari semua upaya ini dalam statistik positif: usia harapan hidup, pertumbuhan ekonomi, dan sejenisnya. Namun kita tahu, Surabaya tak sekadar hendak menorehkan angka-angka untuk menafsirkan visi keadilan yang pernah dilontarkan Plato. Hanya kebahagiaan warga kota yang memvalidasi semua ikhtiar itu.
*) M. Eri Irawan, Anggota DPRD Kota Surabaya